Rabu, 31 Agustus 2011

Syekh Muhammad Kholil Bangkalan Madura

SYEIKHUNA KHOLIL

Syeih Muhammad Kholil Bin K.H Abdul Latip(1235 Hijriah-1343 Hijriah)Bangkalan Madura
Di desa Langgundih, Keramat, Bangkalan, adalah seorang Kiai berbangsa Sayyid bernama Asror bin Abdullah bin Ali Al-Akbar bin Sulaiman Basyaiban. Ibu Sayyid Sulaiman adalah Syarifah Khadijah binti Hasanuddin bin Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Beliau dikenal dengan “Kiai Asror Keramat”, dinisbatkan pada kampung beliau. Kemudian oleh sebagian orang dirubah menjadi “Asror Karomah”, mungkin dalam rangka meng-arab-kan kalimat “Keramat”. Beliau menurunkan ulama-ulama besar Madura dan Jawa.

Kiai Asror memiliki putra dan putri. Diantara mereka adalah Kiai Khotim, ayah dari Kiai Nur Hasan pendiri Pesantren Sidogiri Pasuruan. Diantara mereka pula adalah dua orang putri yang sampai kini belum diketahui nama aslinya melalui riwayat yang shahih. Salah seorang dari mereka dinikahkan dengan Kiai Hamim bin Abdul Karim Azmatkhan yang bernasab pada Sunan Kudus (garis laki-laki) dan Sunan Cendana (garis perempuan).

Melalui Kiai Abbas, Kiai Asror memiliki cucu bernama Kiai Kaffal. Dan melalui Kiai Hamim, beliau memiliki cucu bernama Kiai Abdul Lathif. Kiai Abdul Lathif memiliki putri bernama Nyai Maryam dan Nyai Sa’diyah. Kemudian Nyai Maryam dinikahkan dengan Kiai Kaffal dan Nyai Sa’diyah dinikahkan dengan seorang Kiai dari Socah, Bangkalan.

Kiai Abdul Lathif adalah seorang da’i keliling. Beliau menjalani kehidupan sufi yang tidak menghiraukan hal-hal keduniaan. Apalagi sepeninggal istri beliau, Ummu Maryam (ibu Nyai Maryam), sejak saat itu beliau lebih aktif da’wah ke kampung-kampung, beliaupun jarang pulang ke rumah karena putri-putri beliau telah bersuami dan telah mandiri.

Pada suatu hari, setelah beberapa tahun Kiai Abdul Lathif tidak pulang ke rumah, tiba-tiba beliau datang dengan membawa seorang anak laki-laki kira-kira berumur tujuh tahunan. Kiyai Abdul Lathif berkata pada Nyai Maryam: “ Wahai Maryam, Aku telah menikah lagi dan ini adalah adikmu. Kutinggalkan ia bersama kalian, didiklah dia sebagaimana aku mendidikmu.” Setelah itu Kiyai Abdul Lathif pergi lagi sebagaimana biasa. Tidak ada yang tahu kapan persisnya kejadian itu, sebagaimana tidak ada yang tahu kapan persisnya Kiai Kholil di lahirkan. Sebagian sesepuh keturunan Syeh Kholil ada yang memperkirakan bahwa Syeh Kholil lahir pada tahun 1252 H, atau sekitar tahun 1835 M.

Cerita ini mengingatkan kita pada cerita Nabi Ibrahim AS. Bagaimana beliau harus meninggalkan Isma’il, putra beliau yang masih bayi, di sebuah lembah yang gersang (Makkah), sementara beliau harus pergi jauh ke Palestina untuk menjalankan tugas da’wah. Siapa yang tidak sedih menyimak cerita ini, seorang ayah yang bersabar meninggalkan anaknya yang masih kecil, padahal betapa menyenangkannya memeluk, menatap dan bercanda dengan anak seusia Kholil kecil saat itu. Demikian pula dengan Nyai Maryam, sebenarnya beliau sangat sedih ditinggal oleh sang ayah. Di usia ayah yang mulai senja, inginnya hati Nyai Maryam merawat sang ayah, mestinya sang ayah sudah waktunya istirahat. Namun Nyai Maryam sadar, bhwa keluarga mereka adalah keluarga pengabdi pada agama, tidak ada istirahat untuk berda’wah sampai ajalpun tiba, istirahat mereka adalah di peraduan abadi bersama para leluhur mereka.

Menurut sebagian riwayat, sejak saat itu Kiai Abdul Lathif tidak pernah pulang lagi, maka hari itu adalah hari terakhir beliau melihat Nyai Maryam dan putra sulung beliau itu.

PENDIDIKAN

Nyai Maryam bersama sang suami, Kiai Kaffal, mulai merawat dan mendidik Kholil kecil. Mengajarinya membaca Al-qur’an dan ilmu-ilmu dasar agama. Melihat kecerdasan dan bakat Kholil kecil, Kiai Kaffal dan Nyai Maryam berpikir untuk memondokkannya ke sebuah pesantren, agar Kholil kecil dapat menimba ilmu dan terdidik lebih serius. Maka mereka pun memilih pesantren Bunga, Gersik, yang diasuh oleh Kiai Sholeh itu.

Tidak beberapa lama kemudian setelah Kholil kecil mondok di Bunga, terjadilah suatu peristiwa yang aneh. Ceritanya, suatu ketika Kiai Sholeh pulang dari kondangan dalam keadaan lapar. Karena sudah waktunya shalat, maka beliaupun meninggalkan bakul “berkat” (makanan oleh-oleh kenduren) diatas sebuah meja dan bermaksud memakannya seusai shalat. Kiai Sholeh kemudian mengimami shalat di musholla pesantren bersama santri-santri beliau. Ketika sedang shalat itu, tiba-tiba ada suara anak-anak tertawa cekikian di belakang Kiai Sholeh. Setelah shalat selesai, Kiai Sholeh bertanya dengan nada marah “Siapa yang tertawa tadi?” Maka berkatalah salah seorang santri: “Ini, Kiai, bocah dari Madura ini yang tertawa.” Setelah selesai dzikir, Kiai Sholeh memanggil bocah Madura yang tidak lain adalah Kholil kecil itu. Kiaipun memerahinya dan memukul kakinya dengan tidak terlalu keras seraya berkata: “Jangan ulangi lagi, ya?! Kalau waktu shalat jangan bergurau!”. Maka Kholil kecilpun berkata: “Tapi, Kiai, saya tidak bergurau, kok. Saya tertawa karena saya melihat Kiai shalat sambil berjoget dan di kepala Kiai ada bakul nasinya.” Mendengar kata-kata Kholil kecil itu, Kiai Sholeh menjadi terkejut dan heran, beliau teringat bahwa ketika sedang shalat tadi beliau memang sedang memikirkan nasi berkat, beliau sempat hawatir karena lupa tidak menitipkan nasi berkat itu, beliau hawatir nasi itu ada yang memakannya, karena beliau sedang sangat lapar dan di rumah beliau tidak ada makanan lagi selain nasi berkat itu. Menyadari hal aneh itu, Kiai Sholeh yakin bahwa Kholil kecil bukanlah anak sembarangan. Keesokan harinya, Kiai Sholeh mengajak beberapa santri pergi ke Bangkalan untuk Menemui Kiai Kaffal. Setibanya di rumah Kiai Kaffal, Kiai Sholeh langsung berbicara mengenai Kholil kecil.

“Kiai Kaffal, sebenarnya Kholil ini anak siapa?” Tanya Kiai Sholeh.

“Dia anak mertua saya, yaitu Kiai Abdul Lathif. Jadi dia adik ipar saya, saudara istri saya dari lain ibu.” Jawab Kiai Kaffal.

“Lalu di mana Kiai Abdul Lathif sekarang?”

“Tidak tahu, Kiai, beliau memang jarang pulang, beliau suka keliling ke kampung-kampung untuk berda’wah. Beliau menyerahkan Kholil kepada kami.”

“Kiai Kaffal, Kholil itu adalah anak yang luar biasa. Saya rasa, saya kurang pas untuk mendidik dia. Cari saja Kiai lain yang lebih mumpuni dari saya.”

Demikianlah inti pembicaran Kiai Sholeh dengan Kiai Kaffal. Maka Kiai Kaffal pun menjemput Kholil kecil dari Bunga. Tidak beberapa lama kemudian Syekh Kholil dimondokkan di Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan, yang di asuh oleh Kiai Asyik.

Beberapa tahun kemudian, Kholilpun sudah menginjak remaja dan ia pindah ke Pesantren Kebon Candi Pasuruan yang diasuh oleh Kiai Arif. Kholil muda belajar dan tinggal di Pesantren Kebon Candi, namun sambil belajar pada Kiai Nur Hasan Sidogiri. Setiap berangkat ke Sidogiri, beliau jalan kaki dari Kebon Candi yang berjarak kurang lebih tujuh kilo meter. Dalam Perjalanan, baik pergi maupun pulangnya, beliau membaca yasin empat puluh kali.

Tiga Pesantren itu adalah tempat-tempat belajar Syekh Kholil yang diriwayatkan dengan akurat dan shahih. Selain itu, ada beberapa riwayat bahwa beliau juga pernah mondok di dua tempat lain, yaitu Pesantren Langitan dan Pesantren Banyuwangi. Namun Menurut Kiai Kholil bin Abdul Lathif bin Muhammad Thoha bin Kaffal, sebagaimana yang dituturkan Kiai Thoha Kholili, dua Pesantren itu tidak dikenal oleh beliau sebagai tempat belajar Syekh Kholil. Waalahu a’lam.

Sejak kecil, sering terjadi hal-hal yang aneh pada Syekh Kholil. Sebenarnya Nyai Maryam sudah sering melihat hal-hal aneh Syekh Kholil sejak beliau baru diserahkan oleh Kiai Abdul Latif, namun Nyai Maryam tidak segera menceritakan hal-hal aneh itu pada Kiai Kaffal. Setelah sering terjadi dan Nyai Maryam hawatir terjadi apa-apa pada Kholil kecil, akhirnya Nyai Maryam bercerita juga pada Kiai Kaffal, namun Kiai Kaffal justru menganggap hal itu sebagai pertanda baik bagi Kholil kecil. Sampai usia remaja, hal-hal aneh sering terjadi pada Syekh Kholil, baik di rumah maupun di pesantern.

Selama di Pesantren, Syekh Kholil terkenal sebagai santri yang rajin dan sabar. Beliau menjalani hidup yang memprihatinkan, karena memang beliau nyantri dengan hidup mandiri, tanpa ada yang membiayai. Karena beliau banyak memanfaatkan waktu untuk belajar, beliaupun tidak sempat bekerja cukup untuk mendapat makanan yang layak, dan akibatnya beliau harus makan makanan yang sangat tidak layak, seperti makanan sisa, makanan basi yang telah dijemur, kulit semangka dan sebagainya. Sebenarnya, hidup seperti itu tidak memprihatinkan buat Syekh Kholil, karena beliau memiliki kebanggaan dan kenikmatan lain melebihi makanan lezat dan hidup mewah, yaitu kenikmatan dan kebanggaan menuntut ilmu. Maka dari itu, walaupun beliau menjalani hidup yang memprihatinkan menurut orang lain, namun tidaklah memprihatinkan menurut beliau sendiri, wajah beliau tidak kalah bersahaja dari pada teman-teman beliau yang hidupnya cukup atau berkecukupan.

Setelah cukup dewasa, Syekh Kholil bermaksud melanjutkan belajar ke Makkah Al-Mukarramah.

Dalam buku “Surat kepada Anjing Hitam”, Saifur Rachman menulis bahwa sebelum belajar di Makkah, Syekh Kholil belajar di Pesantren Banyuwangi. Saifur Rachman Berkata: “Inilah Pesantren Kiai Kholil yang ditempuh di Jawa. Selama di Pesantren ini Kholil santri mempunyai kisah tersendiri. Pengasuh Pesantren ini mempunyai kebun kalapa yang sangat luas. Kholil santri menjadi buruh memetik kelapa dengan upah 80 pohon mendapat tiga sen. Semua hasil memetik kelapa disimpan didalam peti, lalu di persembahkan pada Kiai. Tentang biaya makan sehari-hari, Kholil santri menjalani kehidupan prihatin. Terkadang menjadi pembantu (khaddam) Kiai, mengisi bak mandi, mencuci pakaian dan piring serta pekerjaan lainnya. Bahkan Kholil santri sering menjadi juru masak kebutuhan teman-temannya. Dari kehidupan prihatin itu Kholil santri mendapat makan cuma-cuma. Sesudah cukup di Pesantren itu, gurunya menganjurkan Kholil untuk melanjutkan belajarnya ke Makkah. Uang dalam peti yang dahulu dihaturkan kepada Kiai, kemudian oleh Kiai diserahkan kembali pada Kholil sebagai bekal belajar di Makkah.

Riwayat ini sebenarnya tidak dikenal oleh sesepuh keturunan Syekh Kholil sendiri. Namun hal itu masih dalam kategori “mungkin”. Kalau riwayat ini benar, maka riwayat ini bisa disambung dengan riwayat keluarga Syekh Kholil, bahwa pada suatu hari Syekh Kholil pulang menemui Nyai Maryam, tiba-tiba Syekh Kholil Berkata: “ Kak, saya mau pamit berangkat ke Makkah.”

“Mau berangkat kapan, ‘Lil?” Tanya Nyai Maryam.

“Sore ini, kak.” Jawab Syekh Kholil singkat.

Sebenarnya ini suatu hal yang aneh, karena setahu Nyai Maryam, Syekh Kholil tidak punya uang banyak untuk bisa ke Makkah, apalagi dengan mendadak seperti itu. Namun Nyai Maryam sudah biasa mendapati hal yang aneh-aneh dari sang adik, maka Nyai Maryampun percaya saja dan tidak menganggap hal itu sebagai hal yang aneh. Maka Nyai Maryampun berkata: “Kalau begitu tunggu aku masak nasi dulu, ya, ‘Lil. Kamu makan dulu sebelum berangkat.” Syekh Kholilpun menunggu sang kakak memasak. Setelah makanan siap, Syekh Kholilpun makan dan kemudian pamit berangkat ke Makkah. Menurut penuturan Nyai Maryam, Syekh Kholil berjalan ke arah Barat dan Nyai Maryam menatap kepergian beliau sampai beliau tak terlihat. Nyai Maryam tidak tahu persisnya Syekh Kholil berangkat naik apa dan dari mana. Barangkali saja Syekh Kholil naik kapal dari Kamal atau dengan cara lain. Wallahu a’alam

DI MAKKAH AL-MUKARRAMAH

Dalam buku “Surat Kepada Anjing Hitam”, Saifur Rachman menulis: “Selama dalam perjalanan ke Makkah, Kholil selalu dalam keadaan berpuasa dan mendekatkan diri kepada Allah. Siang hari banyak digunakan membaca Al-Qur’an dan shalawat, sedangkan pada malam hari digunakan melakukan wirid dan taqarub kepada Allah. Hal itu dilakukannya terus menerus sampai di Makkah. Setibanya di mekkah Kholil segera bergabung dengan teman-temannya dari Jawa. Selama di Makkah Kholil mempelajari pelbagai ilmu pengetahuan. Banyak para Syaikh yang Kholil datangi.

Selama menempuh pendidikan di Makkah, kebiasaan hidup sederhana dan prihatin tetap dijalankan seperti waktu dipesantren Jawa. Kholil sering makan kulit semangka ketimbang makanan yang wajar pada umumnya. Sedangkan minumannya dari air zamzam, begitu dilakukannya terus menerus selama empat tahun di mekkah. Hal ini mengherankan teman-teman seangkatannya, seperti Nawawi dari banten, Akhmad Khatib dari Minang Kabau dan Ahmad Yasin dari Padang. Bahkan ketika bermaksud buang air besar, Kholil tidak pernah melakukan di Tanah Haram, tetapi keluar ke tanah halal karena menghormati Tanah Haram.

Didalam berguru, Kholil mencatat pelajarannya menggunakan baju yang dipakainya sebagai kertas tulis. Kemudian, setelah dipahami dan dihafal lalu dicuci, kemudian dipakai lagi. Begitu seterusnya dilakukan selama belajar di Mekkah. Oleh sebab itu pakaian Kholil semuanya berwarna putih. Tentang biaya selama nyantri di Mekkah Kholil menulis pelbagai risalah dan kitab kemudian dijual. Kholil banyak menulis kitab Alfiah dan menjualnya seharga 200 real perkitab.

Terkadang memanfaatkan keahliannya menulis khat (kaligrafi) untuk menghasilkan uang. Semua uang hasil penulisan risalah dan kitab kemudian dihaturkan kepada gurunya. Kholil sendiri memilih kehidupan sangat sederhana. Kehidupan sederhana yang ditempuhnya selama nyantri di mekkah adalah pengaruh kuat ajaran Imam Ghazali, salah seorang ulama yang dikaguminya.

Dalam mengarungi lautan ilmu di Makkah, disamping mempelajari ilmu dhohir (eksoterik), seperti tafsir, Hadits, Fikih dan ilmu nahwu, juga mempelajari ilmu bathin (isoterik) ke pelbagai guru spiritual. Tercatat guru spiritual Kholil adalah Syaikh Ahmad Khatib Sambas Ibnu Abdul Ghofar yang bertempat tinggal di Jabal Qubais. Syaikh Ahmad Khatib mengajarkan Thariqoh Qodariyyah wan Naqsyabandiyyah. Biasanya kedua thariqoh ini terpisah dan berdiri sendiri. Namun setelah Syaikh Ahmad Khatib, kedua thariqoh ini dipadukan.

CARA BELAJAR SYEKH KHOLIL

Kesimpulannya, didalam menuntut ilmu, Syekh Kholil telah maksimal mengusahakan hal-hal berikut:

1. Ikhlas karena Allah SWT. Beliau tidak peduli dengan pahitnya kehidupan saat itu, karena yang beliau pentingkan adalah ilmu, dengan harapan Allah ridha dengan ilmu yang beliau dapat. Beliau dapat membuktikan keikhlasan itu ketika Allah SWT menguji beliau dengan hidup yang serba kekurangan.

2. Akhlaq yang tinggi kepada Allah SWT. Kita bisa lihat akhlaq beliau ketika beliau harus keluar dari tanah haram (Makkah) untuk buang air besar. Beliau merasa tidak sopan buang hajat di tanah suci. Ini menunjukkan betapa Syekh Kholil sangat tawadhu’ dan peka terhadap Allah.

3. Cinta, hormat dan patuh kepada guru, tentunya setelah memilih guru yang layak. Apapun beliau berikan kepada guru, untuk membantu dan membuat guru ridha. Dihadapan guru, beliau siap sedia untuk diperintah melebihi budak dihadapan tuannya. Jangankan harta, nyawapun siap dipertaruhkan untuk guru.

4. Mencintai ilmu sehingga beliau rajin belajar.

Dengan menggabung empat hal ini, Syekh Kholil berhasil mendapatkan ilmu yang banyak dan barokah, dan semua itu kemudian mengantarkan beliau mendapat derajat yang tinggi di sisi Allah, yaitu sebagai ulama da wali Allah. Bagi yang ingin mendapatkan apa yang diperoleh Syekh Kholil, maka empat hal itulah kuncinya.

URU-GURU SYEKH KHOLIL

DI MAKKAH AL-MUKARRAMAH

Dalam buku “Surat Kepada Anjing Hitam”, Saifur Rachman menulis: “Muhammad Kholil bersama Abdul Karim dan Tolhah berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Sambas. Setelah ketiganya mendapat ijazah dan berhak sebagai mursyid, lalu pulang ke Jawa menyebarkan thariqoh Qodariyyah dan Naqsyabandiyyah.

Menurut Abah Anom, seorang mursyid Thariqoh Qodariyyah wan Naqsabandiyyah di Tasikmalaya, Syaikh Abdul Karim menyebarkan Thariqot di Banten, Syaikh Tolhah di Cirebon dan syaikh Kholil di Madura. Tentang keabsahan Thariqoh Kiai Kholil banyak kekhilafan diantara ulama. Namun menurut catatan penulis yang mendengar langsung lewat kaset penjelasan murid Kiai Kholil, Kiai As’ad Syamsul Arifin, bahwa thariqoh Kiai Kholil adalah Qodariyyah wan Naqsabandiyyah.

Dengan demikian silsilah Kiai kholil dalam kemursyidan thariqoh Qodariyyah wan Naqsabandiyyah dari jalur Syaikh Ahmad Khatib Sambas adalah sebagai berikut :

1. Allah SWT Rabbul Alamin.
2. Jibril AS.
3. Nabi Muhammad SAW.
4. Ali Bin Abi Thalib.
5. Husein Bin Ali.
6. Zaenal Abidin
7. Muhammad Al-Baqir.
8. Ja’far Ash-Shodiq
9. Imam Musa Al-Kazhim.
10. Abu Hasan Ali Ar-Ridho
11. Ma’ruf Karkhi
12. Sari As-Saqoti
13. Abu Qosim Junaid Al-Baghdadi
14. Abu Bakar Asy-Syibli
15. Abu Fadly Abd Wahidi At-Tamimi
16. Abu Farazi At-Thurthusil
17. Abu Hasan Ayyub
18. Abu Said Al-Mubarok
19. Abdul Qodir Al-Jailani
20. Abdul Aziz
21. Muhammad Al-Hattak
22. Syamsudin
23. Syarifudin
24. Nurudin
25. Waliyyuddin
26. Hisyammuddin
27. Yahya
28. Abu Bakar
29. Abdurrahim
30. Utsman
31. Abdul Fattah
32. Muhammad Muraad
33. Syamsudin
34. Ahmad Khatib Sambas
35. Muhammad Kholil Bangkalan

Melihat kewenangan Kiai Kholil sebagai mursyid Thariqoh Qodariyyah wan Naqsyabandiyyah menunjukkan beliau memiliki derajat yang tinggi di dalam maqom spiritualnya. Menurut penuturan Kiai As’ad Syamsul Arifin, pada saat Kiai Kholil berzikir di ruangan majlis dzikir, apabila lampu dimatikan sering terlihat sinar biru yang sangat terang memenuhi ruangan tersebut.

Sementara itu, ada empat nama yang saya baca dalam tulisan tangan Syekh Kholil, nampaknya mereka ini adalah guru-guru beliau sewaktu belajar di Makkah Al-Mukarramah, yaitu:

1. Syekh Ali Al-Mishri: Nama ini saya dapatkan pada salah satu surat Syekh Kholil kepada Kiai Muntaha ketika Kiai Muntaha belajar di Makkah.
2. Syekh Umar As-Sami: Saya temukan pada tulisan Syekh Kholil sebagai catatan pinggir kitab Al-Matan Asy-Syarif (ilmu nahwu). Di situ Beliau menyitir banyak keterangan yang beliau terima dari Syekh Umar As-Sami.
3. Syekh Khalid Al-Azhari,
4. Syekh Al-Aththar
5. dan Syekh Abun-Naja: Mereka bertiga juga sering disebut dalam beberapa tulisan tangan Syekh Kholil sebagai orang yang memberikan keterangan-keteragan dalam ilmu nahwu. Nama-nama itu tersebar di berbagai kitab tulisan tangan Syekh Kholil. Saya melihat dan mempelajari tulisan-tulisan itu dari kitab-kitab Syekh Kholil yang ada pada Kiai Thoha Kholili.

Syek Ali Ar-Rahbini, guru terdekat Syekh Kholil

Syekh Ali bin Muhammad Amin bin Athiyyah Ar-Rahbini. Beliau adalah salah satu ulama Makkah. Saya pernah membaca biografi beliau dalam sebuah kitab “Tarajim” yang saya pinjam dari Syekh Ruwaid bin Hasan Ar-Rahbini ketika beliau bertandang ke Malang, namun sayang sekali saya tidak sempat meng-copy kitab itu, sayapun lupa sebagian besar isinya. Kejadian itu memang sudah cukup lama, yaitu sekitar tahun 1992 dimana pada saat itu saya baru berusia 17 tahun.

Adapun putra beliau yag bernama Syekh Muhammad bin Ali, maka Syekh Umar Abdul Jabbar, dalam kitab “tarajim”nya, menulis bahwa beliau lahir pada tahun 1286 H (+ 1871) dan wafat tahun 1351 H (+ 1934). Maka Syekh Muhammad bin Ali lebih muda 36 tahun dari Syekh Kholil. Beliau masuk dalam jajaran ulama Makkah abad ke-13, sezaman dengan Sayyid Abbas bin Abdul Aziziz Al-Maliki (kakek Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas Al-Maliki). Menurut Syekh Umar Abdul Jabbar, Syekh Muhammad bin Ali memiliki Majlis ta’lim di Babul Umroh Masjidil Haram. Bisa jadi, Syekh Muhamad menggatikan majlis ayah beliau, sebagaimana adat ulama Makkah apabila meneruskan profesi orang tuanya. Syekh Ali dan Syekh Muhammad masyhur dengan keahlian yang menonjol dalam bidang qira’at (riwayat bacaan Al-Qura’an). Mereka hafal Al-Qur’an dengan tujuh qira’at (riwayat).

Adapun Syekh Ali Ar-Rahbini, Di akhir hayat beliau tertimpa sakit hingga mengalami kebutaan, sehingga beliaupun berhenti mengajar di Masjidil Haram. Namun Syekh Kholil tidak berhenti belajar kepada Syekh Ali setelah beliau buta, karena Syekh Kholil memohon izin untuk terus belajar di rumah beliau dan beliaupun berkenan. Syekh Kholil sangat menghormati dan meyakini Syekh Ali, sehingga ketika Syekh Ali meyuruh Syekh Kholil pulang, Syekh Kholil mematuhi perintah itu walau sebenarnya beliau masih merasa kurang ilmu dan masih ingin menambah ilmu. Berkat kepatuhan itu Syekh Kholil diberkati oleh Allah SWT.

Pada tahun 1997 saya bersilaturrahim kepada Syekh Muhammad Thayyib bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini di Makkah, cucu Syekh Ali Ar-Rahbini, waktu itu beliau telah berusia 95 tahun dan saya baru berusia 22 tahun. Kebetulan, ibu saya adalah cucu Syekh Ali dari jalur Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini, maka saya pernah “buyut paman” pada Syekh Muhammad Thayyib. Diantara riwayat yang saya ambil dari beliau adalah bahwa Syekh Ali Ar-Rahbini memiliki karya tulis tentang Al-Qur’an, namun sampai saat itu manuskripnya hilang entah kemana.

Mengenai nisbat Ar-Rahbini, Rahbin adalah nama sebuah kampung di dekat kota Samannud, Mesir. Syekh Ali memang keturunan Mesir. Beliau yang pertama wafat di Makkah. Ayah beliau, yaitu Syekh Muhammad Amin wafat di Istambul, Turki. Sedang kakek beliau, yaitu Syekh Athiyyah, dan beberapa generasi sebelumnya tinggal di kampung Rahbin itu. Keluarga Ar-Rahbini yang di Indonesia memegang silsilah hanya sampai Athiyyah. Menurut Syekh Ruwaid bin Hasan bin Ali Ar-Rahbini, cucu beliau yang tinggal di Jiddah, nasab Al-Rahbini bersambung pada Sayyidina Utsman bin Affan.

Setelah Syekh Kholil pulang ke Indonesia, beliau tidak putus hubungan dengan Syekh Ali. Setelah Syekh Ali meninggal, ternyata putra beliau, Syekh Muhammad, juga menonjol kelimannya dan mengajar di Masjidil Haram. maka keponakan Syekh Kholilpun, yaitu Kiai Muntaha yang kelak kemudian menjadi menantu beliau, belajar pada Syekh Muhammad bin Ali Ar-Rahbini.

Hubungan Syekh Kholil dengan keluarga Ar-Rahbini tidak berhenti sampai pada Syekh Muhammad, melainkan berlangsung sampai pada Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini, karena cucu guru beliau itu akhirnya datang ke Indonesia. Cerita kedatangan Syekh Ali cukup menarik sehingga layak untuk dimuat sebagai salah satu cerita karomah Syekh Kholil.

Pada suatu pagi setelah shalat shubuh, seperti biasa Syekh Kholil mengajar santri di mushalla. Tiba-tiba Syekh Kholil menutup kitab dan berkata: “Anak-anak, pengajian kali ini singkat saja, sekarang kalian langsung membersihkan halaman dan ruang tamu, karena sebentar lagi ada tamu agung, yaitu cucu dari guruku, Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini.

Setelah semua lingkungan pondok bersih, maka datanglah Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini. Syekh Kholil sudah tahu bakal kedatangan tamu jauh, padahal waktu itu belum ada telpon.

Setelah Syekh Ali datang, maka Syekh Kholil menciumi Syekh Ali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Begitu cinta dan hormatnya beliau terhadap Syekh Ali sebagai cucu dari guru beliau. Kemudian Syekh Kholil menyuruh santri untuk mengambil tiga gelas diatas nampan, gelas yang pertama diisi air putih, gelas kedua diisi susu, gelas ketiga diisi kopi. Kemudian Syekh Kholil berkata pada santri-santri: “Apabila Syekh Ali minum susu, insyaallah beliau tidak lama di Indonesia. Apabila Syekh Ali minum air putih, insyaallah beliau akan tinggal lama di Indonesia dan akan pulang ke Makkah. Dan apabila Syekh Ali minum kopi, insyaallah beliau terus tinggal di Indonesia.” Mendengar ucapan Syekh Kholil tersebut, para santri menunggu saatnya Syekh Ali memilih diantara tiga gelas itu. Ternyata Syekh Ali memilih dan meminum kopi, padahal kopi Madura (Indoesia) lain dengan kopi Arab. Kontan saja para santri bersorak gembira. Syekh Ali hanya tersenyum saja karena tidak mengerti apa yang terjadi, beliau pikir sorak gembira itu adalah bagian dari adat menyambut tamu.

Syekh Ali datang ke Indonesia pada tahun 1921, beberapa tahun sebelum Syekh Kholil wafat. Waktu itu Syekh Ali masih berusia 18 tahun dan masih lajang, namun sudah hafal Al-Qur’an dan perawakannya tinggi besar dengan wajah putih berbulu lebat. Dengan ilmu dan perawakannya itu beliau tidak nampak seperti anak muda, melainkan sudah berwibawa.

Kendatipun Syekh Kholil sangat menghormati Syekh Ali, namun Syekh Ali juga tidak kalah menghormati Syekh Kholil, bahkan Syekh Ali kemudian berguru pada Syekh Kholil. Tidak sampai di situ, melainkan Syekh Ali menjadi sangat ta’zhim dan fanatik terhadap Syekh Kholil. Beliaupun menikahkan salah satu cucu beliau dengan seorang cucu Syekh Kholil. Ketika lahir anak pertama pasangan sang Kiai cucu Syekh Kholil dan sang Nyai cucu Syekh Ali, Syekh Ali memberi bayi itu Nama “Kholil”. Semula sang Kiai cucu Syekh Kholil itu keberatan, karena di keluarga beliau sudah banyak yang bernama “Kholil”. Menanggapi keberatan itu kemudian Syekh Ali marah dan berkata: “Biarpun sudah ada seribu ‘Kholil’, anakmu tetap harus diberi nama ‘Kholil’. Seribu ‘Kholil’ seribu barokah!” Akhirnya anak itupun kemudian diberi nama “Kholil”.

Itu adalah sebagian cerita antara Syekh Kholil dengan keluarga Ar-Rahbini. Adapun Syekh Ali Ar-Rahbini sendiri kemudian tinggal di Gondanglegi Malang. Beliau dikenal sebagai ulama yang hafal Al-Qur’an dan fasih, suaranya yang lantang dan berwibawa membuat jamaah jum’at betah mendengar khutbah beliau walaupun mereka tidak mengerti khutbah beliau yang berbahasa Arab. Beliau juga dikenal wali, banyak cerita kezuhudan dan karomah beliau yang tentu terlalu panjang untuk dimasukkan dalam bab ini.

Beliau menikah dengan beberapa wanita Jawa dan Madura, dari lima orang istri beliau mempunyai 24 putra-putri. Beberapa putri beliau dinikahkan dengan Kiai-kiai Madura, yaitu Nyai Lathifah dengan Kiai Shonhaji Jazuli (ulama besar Pamekasan); adiknya, yaitu Nyai Aminah dengan adik Kiai Shonhaji, yaitu Kiai Mahalli; Nyai Sarah dengan Kiai Asim Luk-guluk (ulama besar Sumenep); Nyai Qudsiyah dengan Kiai Abdul Aziz Ombhul (ulama besar Sampang). Adapun dari putra-putra beliau ada dua orang yang meneruskan perjuangan beliau, yaitu Kiai Fauzi di Gondanglegi, Malang dan Kiai Khairuman yang mendirikan pondok pesantren di Pontianak, yaitu Pesantren Darul Ulum yang merupakan pesantren terbesar dan terkenal di Kalimantan Barat.

SILSILAH NASAB

Syekh Kholil adalah titisan beberapa wali yang tergabung dalam Walisongo, Yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus, yang mana mereka bermarga “Azmatkhan” dan bersambung pada Sayyid Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Beliau juga bernasab pada keluarga Basyaiban yang bersambung pada Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbat Al-Alawi Al-Husaini.

Berikut ini adalah silsilah nasab Syekh Syekh Kholil, terlebih dahulu saya tulis silsilah jalur laki-laki yang bersambung pada Suanan Kudus, untuk menunjukkan hak beliau dalam menggunakan nama belakang (marga/fam) “Azmatkhan Al-Alawi Al-Husaini”, sesuai dengan adat dan istilah pernasaban bangsa Arab.

Jalur Sunan Kudus (Garis laki-laki)

1.Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2.Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3.Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4.Kiai Abdul Karim
5.Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6.Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7.Kiai Selase. Dimakamkan di Selase Petapan, Trageh, Bangkalan.
8.Kiai Martalaksana. Dimakamkan di Banyu Buni, Gelis, Bangkalan.
9.Kiai Badrul Budur. Dimakamkan di Rabesan, Dhuwwek Buter, Kuayar, Bangkalan.
10.Kiai Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
11.Kiai Khatib. Ada yang menulisnya “Ratib”. Dimakamkan di Pranggan, Sumenep.
12.Sayyid Ahmad Baidhawi (Pangeran Ketandar Bangkal). Dimakamkan di Sumenep.
13.Sayyid Shaleh (Panembahan Pakaos). Dimakamkan di Ampel Surabaya
14.Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Kudus) Dimakamkan di Kudus.
15.Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung). Dimakamkan di Kudus.
16.Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri /Raja Pandita). Dimakamkan di Gresik.
17.Sayyid Ibrahim (Asmoro). Dimakamkan di Tuban
18.Sayyid Husain Jamaluddin Dimakamkan di Bugis.
19.Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin. Dimakamkan di Naseradab, India.
20.Sayyid Abdullah. Dimakamkan di Naserabad, India.
21.Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Dimakamkan di Naserabad, India.
22.Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
23.Sayyid Muhammad Shahib Mirbath. Dimakamkan di Zhifar, Hadramaut, Yaman.
24.Sayyid Ali Khali’ Qasam. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
25.Sayyid Alawi. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
26.Sayyid Muhammad. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
27.Sayyid Alawi. Dimakamkan di Sahal, Yaman.
28.Sayyid Abdullah/Ubaidillah. Dimakamkan di Hadramaut, Yaman.
29.Al-Imam Ahmad Al-Muhajir . Dimakamkan di Al-Husayyisah, Hadramaut, Yaman.
30.Sayyid Isa An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
31.Sayyid Muhammad An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
32.Al-mam Ali Al-Uradhi. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
33.Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
34.Al-Imam Muhammad Al-Baqir. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
35.Al-Imam Ali Zainal Abidin. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
36.Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dimakamkan di Karbala, Iraq.
37.Sayyidatina Fathimah Az-Zahra’ binti Sayyidina Muhammad Rasulillah SAW. Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah

Maka, dari jalur Sunan Kudus, Syekh Kholil adalah generasi ke-37 dari Rasulullah SAW.

Jalur Sunan Ampel (garis perempuan)

1.Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2.Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3.Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4.Kiai Abdul Karim.
5.Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6.Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7.Nyai Tepi Sulasi (Istri Kiai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8.Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9.Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10.Sayyid Muhammad Khathib (Raden Bandardayo). Dimakamkan di Sedayu Gresik.
11.Sayyid Musa (Sunan Pakuan). Dimakamkan di Dekat Gunung Muria Kudus. Dalam sebagian catatan nama Musa ini tidak tertulis.
12.Sayyid Qasim (Sunan Drajat). Dimakamkan di Drajat, Paciran Lamongan.
13.Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Dimakamkan di Ampel, Surabaya.
14.Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Sulasi dan Kiai Sulasi bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Ampel, Syekh Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah SAW.

Jalur Sunan Giri (garis perempuan)

1.Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2.Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3.Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4.Kiai Abdul Karim.
5.Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6.Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7.Nyai Tepi Sulasi (Istri Kiai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8 Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9.Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10.Nyai Gede Kedaton (istri Sayyid Muhammad Khathib). Dimakamkan di Giri, Gresik.
11.Ali Khairul Fatihi / Panembahan Kulon. Dimakamkan di Giri, Gresik.
12.Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri). Dimakamkan di Giri, Gresik.
13.Maulana Ishaq. Dimakamkan di Pasai.
14.Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Gede Kedaton dan Sayyid Muhammad Khathib bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Giri, Syekh Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah SAW.

Jalur Sunan Gunung Jati (garis perepuan)

1.Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2.Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3.Nyai Khadijah (Istri Kiai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4.Kiai Asror Karomah.
5.Sayyid Abdullah.
6.Sayyid Ali Al-Akba
7.Syarifah Khadijah.
8.Maulana Hasanuddin Dimakamkan di Banten.
9.Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Dimakamkan di Cirebon.
10 Sayyid Abdullah Umdatuddin.
11.
Sayyid Ali Nuruddin/Nurul Alam.
12.
Sayyid Husain Jamaluddin Bugis. Disini nasab Nyai Khadijah dan Kiai Hamim Kholil bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Gunung Jati, Syekh Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah SAW.

Jalur Basyaiban (garis perempuan)

1.Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2.Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3.Nyai Khadijah (Istri Kiai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4.Kiai Asror Karomah.
5.Sayyid Abdullah.
6.Sayyid Ali Al-Akbar.
7.Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.
8.Sayyid Abdurrahman (Suami Syarifah Khadijah binti Hasanuddin).
9.Sayyid Umar.
10.Sayyid Muhammad.
11.Sayyid Abdul Wahhab.
12.Sayyid Abu Bakar Basyaiban.
13.Sayyid Muhammad.
14.Sayyid Hasan At-Turabi.
15.Sayyid Ali.
16.Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam.
17.Sayyid Ali.
18.Sayyid Muhammad Shahib Mirbat. Disini nasab keluarga Azmatkhan dan Basyaiban bertemu.

Maka, melalui jalur Sayyid Abdurrahman Basyaiban, Syekh Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah SAW.

Demikianlah nasab Syekh Kholil dengan berbagai jalur yang saya dapatkan sampai saat ini, bisa jadi suatu hari nanti kita menemukan nama-nama baru daripada istri-istri jalur laki-laki yang ada itu.

Dalam hal pencatatan nasab, ada satu hal yang cukup membanggakan bagi Kiai-kiai Jawa dan Madura. Berkat gabungan antara adat Arab dalam menjaga silsilah dan adat Jawa/Madura yang tidak membeda-bedakan garis laki-laki dan perempuan, akhirnya Kiai-Kiai Jawa/Madura banyak yang memliki silsilah lengkap dari berbagai jalur. Saya pernah menunjukkan sebuah silsilah seperti ini pada seorang Syekh dari Yaman, beliau merasa kagum karena banyak jalur perempuan yang juga dicatat dalam silsilah itu selain jalur laki-laki, karena pada umumnya, orang Arab tidak tahu nama-nama kakek-buyutnya yang dari jalur ibu atau jalur nenek, mereka hanya mengenal yang jalur ayah keatas dengan garis laki-laki

SEPULANG DARI MAKKAH

Saya membaca catatan Syekh Kholil dalam kitab “Hasyiyah Al-Bajuri” tulisan tangan beliau yang ada pada Kiai Thoha Kholili Jangkibuan, di situ tertulis pernyataan berbahasa Arab yang artinya: “Aku membaca (mengaji) kitab ini pada tahun 1274 H pada …”. Nama guru ngaji beliau tidak jelas karena tulisannya rusak seperti terkena basah.

Kemudian, dalam catatan Kiai Kholili Jangkibuan, tertulis bahwa Syekh Kholil menikah dengan Nyai Assek binti Ludrapati pada tahun 1278. Maka kita bisa memastikan bahwa kepulangan Syekh kholil dari Makkah adalah antara tahun 1274 dan 1278 (+ 1857-1861).

Sepulang dari Makkah, Syekh Kholil tidak langsung mengajar, beliau baru mulai berpikir bagaimana caranya agar dapat mengajarkan ilmunya pada masyarakat. Beliau masih tinggal bersama kakak beliau, Nyai Maryam, di Keramat. Sambil mencari peluang untuk mengamalkan ilmunya, Syekh Kholil mengisi waktu dengan bekerja di kantor pejabat Adipati Bangkalan. Selain untuk mencari nafkah, sepertinya beliau juga bermaksud untuk mencari banyak teman dan kenalan, karena hanya dengan begitulah beliau dapat bergaul.

Di kantor pejabat Adipati Bangkalan itu, Syekh Kholil diterima sebagai penjaga dan kebagian jaga malam. Maka setiap bertugas malam, Syekh Kholil selalu membawa kitab, beliau rajin membaca di sela-sela tugas beliau. Akhirnya beliaupun oleh para pegawai Adipati dikenal ahli membaca kitab, sehingga berita itupun sampai pada Kanjeng Adipati. Kebetulan, leluhur Adipati sebenarnya adalah orang-orang alim, mereka memang keturunan Syarifah Ambami Ratu Ibu yang bersambung nasab pada Sunan Giri. Maka tidak aneh kalau di rumah Adipati banyak terdapat kitab-kitab berbahasa Arab warisan leluhur, walaupun Adipati sendiri tidak dapat mebaca kitab berbahasa Arab. Adipatipun mengizinkan Syekh Kholil untuk membaca kitab-kitab itu di perpustakaan beliau. Syekh Kholil merasa girang bukan main, karena pada zaman itu tidak mudah untuk mendapatkan kitab, apalagi sebanyak itu.

Setelah yakin bahwa Syekh Kholil betul-betul ahli dalam ilmu keislaman dan bahasa Arab, maka Kanjeng Adipati mengganti tugas Syekh Kholil, dari tugas menjaga kantor berubah tugas mengajar keluarga Adipati. Pucuk dicinta ulampun tiba, demikianlah yang dirasa oleh Syekh Kholil, beliaupun memanfaatkan kesempatan itu untuk mengembangkan ilmunya dengan mengajar keluarga bangsawan. Beliaupun telah memiliki profesi baru sebagai pengajar ilmu agama.

Sejak saat itu, Syekh Kholil memiliki tempat yang terhormat di hati Kanjeng Adipati dan keluarga bangsawan lainnya. Mereka mulai menghormati dan mencintai beliau sebagai ulama. Maka tertariklah seorang kerabat Adipati untuk bermenantukan Syekh Kholil, yaitu Raden Ludrapati yang memiliki anak gadis bernama Nyai Assek. Setelah proses pendekatan, maka diputuskanlah sebuah kesepakatan untuk menikahkan Syekh Kholil dengan Nyai Assek. Pernikahanpun berlangsung pada tanggal 30 Rajab 1278 H (+1861 M).

Setelah menikah dengan Nyai Assek, Syekh Kholil mendapatkan hadiah dari sang mertua, Ludrapati, berupa sebidang tanah di desa Jangkibuan. Beliaupun membangun rumah dan pesantren di tanah itu. Beliau mulai menerima santri sambil masih mengajar di keraton Adipati. Tidak ada riwayat tentang sampai kapan Syekh Kholil mengajar di keraton Adipati, namun yang pasti, Pesantren Jangkibuan semakin hari semakin ramai, banyak santri berdatangan dari berbagai penjuru, baik dari sekitar Bangkalan maupun daerah lain di Madura dan Jawa.

Syekh Kholil mengukir prestasi dengan cepat, nama beliau cepat dikenal oleh masyarakat, khususnya masyarakat pesantren, baik di Madura maupun di Jawa. Cepatnya nama beliau terkenal membuat banyak teman mondok beliau tidak percaya. Diantara mereka ada seseorang yang pernah berteman dengan beliau sewaktu mondok di Cangaan, orang ini tidak percaya bahwa Kholil yang ia kenal telah menjadi ulama besar.

Ketika ia mendengar bahwa Syekh Kholil itu adalah Kholil temannya di Cangaan, maka iapun berkata: “Masa, sih, dia Kholil yang dulu suka main kelereng dengan saya itu?!”. Karena penasaran, orang itupun datang ke Bangkalan. Setibanya di bangkalan, orang itu bertanya pada seseorang, “mana rumah Syekh Kholil?”. Orang yang ditanya menunjukkan arah rumah Syekh Kholil, namun ternyata orang Jawa itu justru melihat banyak binatang buas di tempat yang ditunjuk itu. Iapun kembali menemui orang yang ditanya tadi, tapi tetap saja ia menunjuk tempat yang sama. Demikian sampai tiga kali.

“Tapi tempat itu bukan rumah, kok, pak. Di situ saya lihat banyak binatang buasnya.”

“Ah, masa? Baiklah, mari saya antar.”

Setelah ketiga kalinya, orang Jawa itupun diantar dan begitu tiba di tempat ternyata ia melihat sebuah rumah yang dikerumuni binatang buas, bersamaan dengan itu keluarlah Syekh Kholil dan binatang-binatang itupun langsung pergi. Melihat yang keluar adalah benar-benar Kholil yang ia kenal, maka orang Jawa itupun langsung mencium tangan Syekh Kholil dan meminta maaf. Sejak saat itu, orang Jawa yang dulunya berteman dengan Syekh Kholil di Cangaan itupun kemudian berguru pada Syekh Kholil.


PESANTREN DEMANGAN

Pada tahun 1280 (+1863), lahirlah putri Syekh Kholil yang bernama Nyai Khotimah. Sementara itu Nyai Maryam (kakak Syekh Kholil) dengan Kiai Kaffal memiliki putra bernama Kiai Muntaha yang lahir pada tahun 1266 H. Saat Nyai Khotimah lahir, Kiai Muntaha berusia 14 tahun. Muntaha muda diberangkatkan ke Makkah untuk menuntut ilmu. Pada tahun 1288, Kiai Muntaha yang telah berubah nama menjadi Muhammad Thoha pulang ke Madura, saat itu beliau berusia 22 tahun. Maka Syekh Kholil menikahkan Kiai Thoha dengan Nyai Khotimah yang masih berusia 8 tahun. Namun Kiai Thoha dan Nyai Khotimah tidak langsung dipertemukan, melainkan Kiai Thoha berangkat lagi ke Makkah untuk melanjutkan pendidikan hingga tujuh tahun lamanya. Ada yang mengatakan hingga sembilan tahun.

Setelah Kiai Thoha pulang, beliau telah menjadi seorang ulama muda yang mumpuni dalam berbagai bidang ilmu keislaman. Maka Syekh Kholilpun menyerahkan Pesantren Jangkibuan pada Kiai Thoha, sementara Syekh Kholil sendiri pindah dan mendirikan pesantren di Demangan.

Dalam buku “Surat Kepada Anjing Hitam”, Saifur Rahcman menulis: “Dari Pesantren Demangan inilah Kiai Kholil bertolak menyebarkan agama Islam di Madura hingga Jawa. Kiai Kholil mula-mula membina agama Islam di sekitar Bangkalan. Baru setelah dirasa cukup baik, mulailah merambah ke pelosok-pelosok jauh, hingga menjangkau ke seluruh Madura secara merata.

Pulau Jawa yang merupakan pulau terdekat dengan pulau Madura menjadi sasaran da’wah Kiai Kholil. Jawa yang telah dirintis oleh pendahulunya yaitu Sunan Giri, dilanjutkan oleh Kiai Kholil dengan metode da’wah yang sistematis. Tidak jarang Kiai Kholil dalam da’wahnya terjun langsung ke masyarakat lapisan terbawah di pedesaan Jawa. Saat ini masih nyata bekas peninggalan da’wah Kiai Kholil baik berupa naskah-naskah, kitab Al-Qur’an, maupun monument atau tugu yang pernah dibangunnya. Sebuah tugu penunjuk arah kiblat dan tanda masuknya sholat lima waktu masih dapat dilihat sampai sekarang di Desa Pelalangan, Bondowoso. Demikian juga beberapa kenangan berupa hadiah tasbih kepada salah satu masyarakat di daerah Bondowoso.

Masih banyak bekas jejak da’wah yang dapat kita temui sekarang, seperti musholla, sumur, sorban, tongkat Kiai Kholil
MURID-MURID SYEKH KHOLIL



“Hampir ulama besar di Madura dan Jawa adalah murid Kiai Kholil. Selain itu, murid Kiai Kholil rata-rata berumur panjang, banyak diatas 100 tahun. Berikut ini sebagian murid Kiai Kholil yang mudah dikenal saat ini :

1. KH. Hasyim Asy’ari : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) Bahkan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional.

2. KHR. As’ad Syamsul Arifin : Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo. Pesantren ini sekarang memiliki belasan ribu orang santri.

3. KH. Wahab Hasbullah: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang. Pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947 – 1971).

4. KH. Bisri Syamsuri: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.

5. KH. Maksum : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah
6. KH. Bisri Mustofa : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Beliau juga dikenal sebagai mufassir Al Quran. Kitab tafsirnya dapat dibaca sampai sekarang, berjudul “Al-Ibriz” sebanyak 3 jilid tebal berhuruf jawa pegon.
7. KH. Muhammad Siddiq : Pendiri, Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember.
8. KH. Muhammad Hasan Genggong : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong. Pesantren ini memiliki ribuan santri dari seluruh penjuru Indonesia.
9. KH. Zaini Mun’im : Pendiri, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Pesantren ini juga tergolong besar, memiliki ribuan santri dan sebuah Universitas yang cukup megah.
10. KH. Abdullah Mubarok : Pendiri, Pengasuh Pondok , kini dikenal juga menampung pengobatan para morphinis.
11. KH. Asy’ari : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari Bondowoso.
12. KH. Abi Sujak : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep.
13. KH. Ali Wafa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember. Pesantren ini mempunyai ciri khas yang tersendiri, yaitu keahliannya tentang ilmu nahwu dan sharaf.
14. KH. Toha : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.
15. KH. Mustofa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan
16. KH Usmuni : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep.
17. KH. Karimullah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.
18. KH. Manaf Abdul Karim : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
19. KH. Munawwir : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
20. KH. Khozin : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.
21. KH. Nawawi : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Pesantren ini sangat berwibawa. Selain karena prinsip salaf tetap dipegang teguh, juga sangat hati-hati dalam menerima sumbangan. Sering kali menolak sumbangan kalau patut diduga terdapat subhat.
22. KH. Abdul Hadi : Lamongan.
23. KH. Zainudin : Nganjuk
24. KH. Maksum : Lasem
25. KH. Abdul Fatah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung
26. KH. Zainul Abidin : Kraksan Probolinggo.
27. KH. Munajad : Kertosono
28. KH. Romli Tamim : Rejoso jombang
29. KH. Muhammad Anwar : Pacul Bawang, Jombang
30. KH. Abdul Madjid : Bata-bata, Pamekasan, Madura
31. KH. Hasbullah Abubakar Tebul,Kwayar Bangkalan Madura (Makam Kramat Pantai Kedung Cowek Surabaya)
32. KH. Muhammad Thohir jamaluddin : Sumber Gayam, Madura.
33. KH. Zainur Rasyid : Kironggo, Bondowoso
34. KH. Hasan Mustofa : Garut Jawa Barat
35. KH. Raden Fakih Maskumambang : Gresik
36. Sayyid Ali Bafaqih : Pendiri, pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali
37. KH. Abdul Hamid bin Itsbat, banyuwangi

GENERASI KELUARGA
DAN PENERUS PERJUANGAN
SYEKH KHOLIL

STRI-ISTRI SYEKH KHOLIL

Ada sembilan wanita yang tercatat sebagai istri Syekh Kholil, beberapa diantara mereka beliau nikahi setelah beberapa istri sebelumnya meninggal dunia. Hal itu sangatlan wajar, karena Syekh Kholil itu berumur panjang, bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau berumur lebih dari seratus tahun, maka beliaupun beberapa kali kedahuluan meninggal oleh istri dan beberapa kali menikah lagi. Itulah sebabnya Syekh Kholil memiliki istri yang banyak.


Mereka adalah:

Nyai Raden Ayu Assek binti Ludrapati.
Nyai Ummu Rahma.
Nyai Raden Ayu Arbi’ah.
Nyai Kuttab.
Nyai Raden Ayu Nur Jati.
Nyai Mesi.
Nyai Sailah.

Dari sembilan istri itu, hanya empat orang yang menurunkan keturunan Syekh Kholil. Mereka adalah: Nyai Assek, Nyai Ummu Rahmah, Nyai Arbi’ah dan Nyai Mesi.

PUTRA-PUTRI SYEKH KHOLIL

Dengan Nyai Assek:
Ahmad (Meninggal masih kecil).
Nyai Khotimah.
KH. M. Hasan.

Dengan Nyai Ummu Rahma:
Nyai Rahma.

Dengan Nyai Arbi’ah:
KH. Imron.

Dengan Nyai Mesi:
KH.Badawi.
Nyai Asma’.

Dari keenam putra-putri itu, hanya empat yang menurunkan keturunan sampai sekarang, yaitu selain KH. M. Hasan dan KH. Badawi.


1. NY. KHOTIMAH BINTI KHOLIL

Nyai Khotimah menikah dengan Kiai Muhammad Thoha (kiai Muntaha) bin Kiai Kaffal. Mereka masih sepupu, karena Kiai Muhammad Thoha adalah putra Nyai Maryam (kakak Syekh Kholil). Kalau dari ayah, Kiai Muhammad Thoha pernah keponakan dua pupu kepada Nyai Khotimah.

Pasangan Nyai Khotimah dan Kiai Muhammad Thoha memiliki tiga orang putra, yaitu:
Kiai Ahmad.
Nyai Rahimah.
dan Kiai Abdul-Lathif.

Namun hanya Kiai Abdul Lathif yang memiliki keturunan.

Kiai Abdul Lathif memiliki putra tunggal bernama Kiai Kholili.

Kiai Kholili memiliki dua istri, yaitu Nyai Na’imah binti Imron bin Kholil dan Nyai Nafisah binti abdul Karim bin Munawwar bin Kaffal + Nyai Maryam (kakak Syekh Kholil).

a. Putra-putra KH. Kholili dengan Nyai Na’imah:
Kiai Ahmad Juwaini. Mendirikan “Pesantren Al-Bukhoriyah” di Jhembhuh, bangkalan.
Kiai Abdul Mu’thi. Mendirikan “Pesantren Sirojul Kholil” di kampung Dulkariman, Bangkalan.
Kiai Abdul Mughni. Mendirikan pesantren di Sukalela Lama, Bangkalan.

b. Putra-putri KH. Kholili dengan Nyai Nafisah:
Kiai Abdul Lathif. Mendirikan “Madrasah Al-Awwaliyah” di Pasar Kapoh, Bangkalan.
Kiai Abdul Kholiq. Mendirikan sebuah Madrasah di kampung Goa, Trahgeh, Bangkalan.
Nyai Khotimah (Kramat).
Nyai Rosyidah. Menikah dengan Kiai Hifni Thoha, Pesantren Al-Falah, Sumber Gayam, Pamekasan.

Kiai Abdul Hamid. Mengasuh Pesantren “Al-Muntaha Al-Kholili” Jangkibuan, pesantren pertama yang didirikan oleh Syekh Kholil.

Kiai Thoha.
Fatimah Az-Zahra’. Menikah dengan Kiai Abdul Malik Hasyim, Pesantren Al-Ishaqi II, Jhembhuh, Bangkalan.
Nyai Rohimah (Bondowoso).
Kiai Mujtaba.
Kiai Syamsuddin.
Kiai Muhammad Hasan

BIOGRAFI K.H HASYIM ASY'ARI



HADROTUSSYAIKH
K.H HASYIM ASY'ARI

Ulama Pembaharu Pesantren
Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).Kakeknya, Kiai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang. Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya. Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo).

Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy'ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia.

Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy'ari.Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy'ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya. Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim Asy'ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng. Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng.

Rabu, 12 Januari 2011

Reaksi Kimia Dalam “Pelarut Hijau”


Pelarut di Sekitar Kita

Lihatlah sekeliling kita dan amatilah, ternyata ada bermacam-macam zat yang digunakan sebagai pelarut. Demikian juga hampir semua proses produksi material umumya menggunakan pelarut sebagai media reaksi. Coba bayangkan, pada perhitungan tahun 1980, dari total konsumsi industri cat di Inggris sepertiganya dibelanjakan untuk pelarut. Pelarut di industri terutama digunakan untuk menghilangkan komponen padat atau cair dari campuran yang ingin dimurnikan, untuk menghilangkan zat pengotor pada suatu campuran zat dan sebagai media reaksi kimia sekaligus pelindung komponen padat. Kedudukan pelarut menjadi semakin penting ketika dikaitkan dengan isyu dampak lingkungan dan teknologi yang ramah terhadap lingkungan (green chemistry). Salah satu sumbangan polusi yang menonjol dan sulit diatasi adalah limbah pelarut setelah digunakan dalam proses produksi material. Apalagi ketidaktahuan bahkan ketidakpedulian kalangan industri mengenai dampak pelarut semakin memperparah keadaan. Pelarut-pelarut tersebut dikenal sebagai pelarut organik yang mudah menguap (volatile organic compounds), berasal dari senyawa hidrokarbon dan turunannya yang berbahaya bagi mahluk hidup maupun lingkungan. Sebagai contoh pelarut aseton maupun turunan senyawa keton adalah pelarut organik yang paling banyak digunakan dalam industri demikian juga senyawa siklik semacam toluen atau xylen.

Pelarut Hijau

Pelarut hijau atau istilah asingnya “Green Solvent” ̄ sesungguhnya bukanlah pelarut yang berwarna hijau tapi hanya sebuah istilah yang kini sedang populer dibidang teknologi ramah lingkungan. Pelarut hijau adalah pelarut yang benar-benar memberikan dampak negatif seminimal mungkin terhadap mahluk hidup dan lingkungan. Tentu saja pelarut yang paling memenuhi syarat tersebut adalah air sebagai pelarut universal. Sayangnya sifat kimia dari air membatasi penggunaannya sebagai pelarut dalam proses produksi. Sedangkan teknologi yang berkembang seiring dengan isyu “green chemistry” adalah ionic liquids, fluida superkritis dan yang paling mutakhir adalah sistem pelarut dua fasa menggunakan turunan senyawa fluor. Walau demikian, kedua sistem yang disebutkan terakhir masih menemukan kendala dalam pemanfaatannya secara massal disebabkan masalah teknis sehingga ionic liquids merupakan satu-satunya kandidat yang layak dan siap digunakan oleh industri terutama sebagai sistem pelarut dalam reaksi kimia.

Sekilas Tentang Ionic Liquids

Jika kita melarutkan garam dapur ke dalam air, maka larutan tersebut disebut sebagai larutan ionik (ionic solution), sedangkan lelehan garam dapur pada temperatur tinggi dikatakan sebagai ionic liquid. Sesungguhnya yang disebut ionic liquids dalam terminologi pelarut adalah suatu garam anion kation organik atau anorganik yang memiliki temperatur leleh kurang atau sedikit lebih tinggi dari 100 derajat Celsius. Bahkan beberapa ionic liquids memiliki titik leleh lebih rendah daripada suhu ruangan. Karena belum adanya kesepakatan istilah tersebut dalam bahasa Indonesia, maka artikel ini cukup menyebutkan istilah asingnya saja yakni ionic liquids (ILs). Baru-baru ini ILs mulai banyak diterapkan di industri sebagai pengganti pelarut konvensional semacam pelarut organik dalam reaksi kimia. Turunan senyawa-senyawa imidazolium dan pyridinium juga phosponium dan tetralkylammonium adalah beberapa contoh yang umum.


Sifat dan Penggunaannya

Ionic liquids yang dikatakan sebagai pelarut ramah lingkungan ternyata memiliki sifat mudah melarutkan hampir kebanyakan senyawa organik maupun anorganik yang umum digunakan dalam proses produksi material. Selain itu, ILs relatif memiliki stabilitas panas yang tinggi, tidak mudah terbakar, memiliki nilai tekanan uap yang demikian kecil bahkan nyaris tidak terukur dan terutama yang penting adalah daya tahannya terhadap reaksi berulang kali. Sifat-sifatnya semacam kepolaran atau hidrofilisitas/lipofilisitas yang bisa diatur tergantung dari gugus molekul anion maupun kation yang menyusunnya menjadikan ILs sebagai “tailored-made solvents”. Sekarang ini banyak penelitian mengarahkan penggunaan ILs sebagai pelarut sekaligus katalis. Jadi keistimewaan lain dari ILs adalah kemampuannya sebagai katalis dalam reaksi kimia (katalis homogen), lebih dari sekedar melarutkan senyawa reaktan dan produk. Reaksi sikloadisi Diels-Alder, asilasi dan alkilasi Friedel Craft, hidrogenasi maupun oksidasi adalah beberapa contoh reaksi yang bisa menggunakan ionic liquids sebagai pelarut maupun katalis. Jika dikombinasikan dengan air atau pelarut lain, maka ILs dapat dimanfaatkan sebagai pelarut dua fasa dalam proses ekstraksi. Sedangkan teknologi yang sekarang juga dikembangkan adalah pemanfaatan ILs sebagai elektrolit dalam baterei.

Masa Depan Ionic Liquids

Ionic liquids memang tidak mungkin benar-benar menggantikan kedudukan pelarut organik, namun kehadirannya diharapkan dapat mengurangi tingkat pencemaran maupun emisi dari pelarut yang mudah menguap dan berbahaya. Pada masa sekarang kebutuhan terhadap ILs memang masih kecil dan harganya yang relatif tinggi, namun seiring dengan semakin majunya penelitian ILs dan tekanan terhadap industri untuk menggunakan ^pelarut hijau ̄, maka ILs akan menjadi solusi yang paling tepat. Beberapa waktu lalu suatu lembaga riset di Korea Selatan telah berhasil mengembangkan ILs sebagai katalis homogen untuk reaksi kopling karbon dioksida dengan epoksida menghasilkan senyawa karbonat siklik. Penelitian tersebut berhasil mensintesa senyawa karbonat siklik diatas 90% dengan selektivitas hampir 100%. Uji coba skala pilot menunjukkan hasil yang relatif serupa dengan skala laboratorium setelah dilakukan penyesuaian temperatur dan tekanan serta modifikasi terhadap proses pemisahannya. Kelebihan teknologi ini adalah penggunaan katalis yang efisien dan stabilitas aktivitas katalis yang tinggi. Proses ini benar-benar bisa dikatakan ramah lingkungan karena tidak digunakannya pelarut apapun dalam reaksi kopling dan rupanya telah ada beberapa perusahaan ternama di Korea Selatan yang tertarik dengan teknologi ini.

Selasa, 11 Januari 2011

Kota Tersembunyi di Dalam Goa Berusia 800 Tahun

Nama kotanya Vardzia, terletak di Georgia di perbatasan Eropa Timur dengan Asia Barat. Kota ini memiliki 13 tingkat dan terdiri dari 6000 bangunan! Bangunan ini dulunya dibangun oleh seorang ratu dari Georgia berumur 25 tahun, bernama Tamar. Digunakan sebgai tempat persembunyian para pendeta yang diserang oleh bangsa Mongol.

Tau nggak gan, sekarang untuk menuju ke kota tersembunyi ini, kita harus melewati terowongan rahasia yang bermula di sebuah sungai. Selama ratusan tahun, tidak ada seorang pun yang tau kalau kota ini dihuni oleh para pendeta-pendeta pelarian dari Mongol. Sayangnya, gempa pada tahun 1283 meruntuhkan sebagian besar bangunan. Namun sekarang ada beberapa generasi dari pendeta-pendeta tersebut yang masih hidup di sini. Wow!